Disampingberlakunya Undang - undang Hukum Pidana menurut waktu dikenal juga asas - asas berlakunya KUHP menurut tempat. Asas - asas ini diatur oleh KUHP dari pasal 2 - 9 yang dapat diperinci menjadi 4 asas yaitu : 1. Asas Teritorialitas (Pasal 2 dan 3) 2. Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif pasal 4 dan 8) Berdasarkanwaktu berlakunya, hukum bisa dibagi jadi tiga yaitu Ius Constitutum atau hukum positif, ius Constituendum atau hukum negative, dan hukum asasi atau hukum alam. Mari kita bahas satu-satu. Hukum positif itu hukum yang berlaku sekarang bagi masyarakat yang ada di daerah tertentu. Misalnya Undang-undang dasar tahun 1945. Adapundalam perkembangan ilmu pengetahuan mengenai berlakunya hukum pidana dikenal adanya 3 (tiga) sistem atau asas, yaitu sebagai berikut: Sistem atau asas berlakunya hukum pidana menurut tempat (tempus); Sistem atau asas berlakunya hukum pidana menurut waktu (locus); dan. Sistem atau asas berlakunya hukum pidana menurut orang (persoon) . Fast Money. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seperti yang kita ketahui Hukum Pidana adalah sebuah aturan-aturan yang mempunyai sangsi kurungan, putusan bebas, putusan pidana dan lepas dari tuntutan pidana. Tindak pidana merupakan penderitaan baik berupa fisik maupun psikis, ialah perasaan tidak senang, sakit hati, amarah, tidak puas, terganggunya ketentraman bathin. Hal ini bukan dirasakan oleh pelaku kajahatnnya saja, akan tetapi semua masyarakat pada umumnya. Untuk itu diberikan pembalasan yang setimpal sudut objektif kepada pelakunya. Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempunyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP. Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi penentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Ketentuan tentang asas berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana berlakunya Hukum Pidana menurut waktu? 2. Bagaimana berlakunya Hukum Pidana menurut tempat BAB II PEMBAHASAN A. Berlakunya Undang-Undang Pidana Menurut Waktu a. Pasal 1 ayat 1 KUHP Sesuai yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang mengatakan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Maka apabila perbuatan tersebut telah dilakukan orang setelah suatu ketentuan pidana menurut undang-undang itu benar-benar berlaku, pelakunya itu dapat dihukum dan dituntut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan pidana tersebut. Ini berarti bahwa orang yang telah melakukan suatu tindak pidana dan diancam dengan hukumnan oleh undang-undang itu hanya dapat dihukum dan dituntut berdasarkan undang-undang pidana atau berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang berlaku, pada waktu orang tesebut telah melakukan tindakannya yang terlarang dan diancam dengan hukuman. Didalam Pasal 1 ayat 1 KUHP mengandung asas legalitas, yakni seseorang tidak dapat dikenai hukuman atau pidana jika tidak ada Undang-Undang yang di buat sebelumnya. Contoh pada sekitar tahun 2003 di Yogyakarta terjadi kasus “cyber crime” yang berupa “carding”, tetapi pada saat itu Undang-Undang tentang “cyber crime” belum disahkan oleh karena itu para pelaku tidak bisa diadili atau dikenai hukuman. Kemudian pada bulan maret tahun 2008, Menteri Komunikasi dan Informasi M Nuh sebagai wakil pemerintah dalam sidang Paripurna mengapresiasi sikap DPR yang menyetujui RUU ITE untuk kemudian resmi menjadi undang-undang. Dalam UU ITE tersebut banyak diatur mengenai masalah transaksi elektronik baik yang dilakukan dalam transasksi perbankan ataupun komunikasi. Selain itu, dalam UU tersebut juga mengatur mengenai pelarangan situs-situs porno. Termasuk menyebarkan informasi yang tidak menyenangkan. Dengan adanya UU ITE ini akan memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan Negara. Disamping itu dalam pasal 1 ayat 1 KUHP juga mengandung asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. b. Pasal 1 ayat 2 KUHP Konsep KUHP lebih memperinci perubahan undang-undang pidana tersebut. Pasal 1 ayat 2 KUHP merupakan pengecualian terhadap berlaku surut retroaktif undang-undang pidana. Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 KUHP dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut, namun demikian aturan undang-undang tersebut haruslah yang paling ringan atau menguntungkan bagi terdakwa. Dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP mempunyai 2 ketentuan pokok, yaitu a. Sesudah perbuatan dilakukan ada perudahan dalam perundang-undangan. b. Dipakai aturan yang paling menguntungkan atau meringankan. Menurut Bambang Poernomo, 2 dua ketentuan dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP itu menimbulkan pandangan dan masalah, sehingga perlu ditinjau kembali atas kemanfaatan dari hukum peralihan yang peru-musannya seperti itu akan ditiadakn sama sekali dengan pertimbangan sebagai berikut Tidak ada hukum yang berdiri sendiri tanpa pengaruh dari lapangan hukum yang lain sehingga hukum pidana akan tetap memperhatikan perkembangan lapangan hukum yang lain. a. Dasar perubahan undang-undang yang baru adalah karena bahan perasaan/keyakinan/ kesadaran hukum rakyat, yang melalui badan pembentuk undang-undang membentuk undang-undang baru, untuk perbuatan pidana yang terjadi kemudian, sehingga perubahan undang-undang yang karena sifatnya berlaku sementara tidak termasuk perubahan di sini. b. Perubahan undang-undang yang menyangkut berat atau ringannya ancaman pidana tidak akan mempunyai arti, karena di dalam prakteknya hakim tetap memegang asas kebebasan di dalam menjatuhkan pidana yang diancam. d. Asas lex temporis delicti yang berlaku secara tertulis maupun tidak tertulis adalah asas yang menjamin kepastian hukum serta keadilan hukum. Kemudian Bambang Poernomo, lebih lanjut menyatakan bahwa; Hukum peralihan yang tercantun di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP hanyalah mempunyai arti historis bagi suatu negara yang untuk pertama kali mempunyai dan membentuk kodifikasi atau undang-undang hukum pidana, sebagai peralihan dari keadaan hukum yang teratur dan sewenang-wenang menuju kepada tertib hukum pidana. Bagi suatu negara yang akan atau telah menyempurnakan kodifikasi atau undang-undang hukum pidananya, tidak secara mutlak harus mencantumkan lagi hukum peralihan seperti Pasal 1 ayat 2 KUHP itu, dengan konsekuensi bahwa secara prinsip berpegang pada Lex temporis delicti dengan pengertian suatu peraturan hukum yang memuat lembaga atau yang menimbulkan ancaman pidana bagi suatu perbuatan tidak dapat berlaku surut kecuali dengan tegas ditentukan sebagai demikian, maupun hal-hal yang menimbulkan perubahan terhadap isi normanya saja. Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum pidana mempunyai isi tentang norma dan sanksi pidana, sehingga sudah sewajarnya apabila isi yang terakhir dijaga oleh lex temporis delicti perubahan Pasal 364, 374, 379, 407 1 KUHP. Kemudian Hazwinkel-Suringa, antara lain berpendapat bahwa lebih bermanfaatlah kalau Pasal 1 ayat 2 KUHP diha-puskan, yang berarti bahwa ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku pada waktu deliklah yang dipergunakan oleh hakim. Hal mana adil, dan berarti semua pembuat delik diperlakukan sama.[1] Kerugian yang dapat ditimbulkan, oleh karena undang-undang baru tidak dapat dipergunakan, dapat diatasi dengan jalan a. penuntut umum dapat mempergunakan asas oppurtunitas. b. Hakim dapat memberikan pengampunan. c. Pembuat undang-undang dapat saja memper-hatikan tiap-tiap perubahan undang-undang pidana yang lama dengan jalan membuat ketentuan pidana khusus. B. Berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat Mengenai berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat locus deliciti ini, dalam KUHP tidak ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan KUHP di Jerman, dimana dalam pasal 3 ditentukan bahwa tenpat perbuatan pidana adalaha tempat dimana tempat terdakwa berbuat, diaman seharusnya terjadi. Menurut teori, biasanya tentang locus deliciti ini ada dua aliran, yaitu a. Aliran yang menentukan di satu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat. b. Aliran yang menentukan beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, mungkin tempat akibat. Sebagai contoh dari aliran yang pertama adalah Arrest HR di Netherland tahun 1889 tentang “penipuan”.[2] Duduk perkaranya adaalah sebagai berikut; Terdakwa dari Amsterdam minta kepada perusahaan di Perancis supaya dikirim barang-barang atas tanggungannya kepada alamat tertentu di Amsterdam. Surat pemesanan itu dibuat sedemikian rupa seakan-akan pemesanan tersebut mewakili perusahaan ekspor secara besar-besaran dan yang mewakili kreditwaarding dapat dipercaya utang.setelah barang-barang dikirim dan kemudian ternyata tidak dibayar, maka dibikin perkara di Amsterdam tadi dengan tuduhan penipuan. Perkara itu maju di pengadilan Amsterdam. Jawab terdakwa “penipuan itu terjadi pada saat barang itu diberikan oleh orang yang kena tipu. Barang-barang itu diberikan di Perancis, untk seterusnya disampaikan kepada alamatnya di Amsterdam. Maka dari itu penipuan terjadi diperancis dan bukan di Amsterdam sehingga pengadilan Amsterdam tidak berhak memriksanya, sebab dalam hal ini berlaku hukum Perancis. Pendirian HR tempat kejadian bukanlah ditentukan oleh tempat dimana akibat dari kelakuan terdakawa itu terjadi, tetapi ditentukan oleh tempat dimana terdakwa itu berbuat. Sejauh apa yang dari pihaknya yang diperlakukan bagi kejahatan tersebut. Teori tentang tempat dimana kelakuan terjadi diluaskan dengan tempat diman alat yang dipakai oleh terdakwa untuk bekerja, manakala terdakwa dalam melakukan perbuatan pidana menggunakan suatu alat. Umpamanya membunuh dengan menggunakan mwmasang bom waktu, locus deliciti adalah tempat dimana tempat korban di umumkan. Menurut aliran yang kedua, locus deliciti adalah pilih antara tempat diman perbuatan dimulai dengan kwlakuan terdakwa hingga perbuatan selesai dengan timbulnya akibat. BAB III KESIMPULAN A. Berlakunya Undang-Undang Pidana Menurut Waktu a. Pasal 1 ayat 1 KUHP Sesuai yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang mengatakan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Maka apabila perbuatan tersebut telah dilakukan orang setelah suatu ketentuan pidana menurut undang-undang itu benar-benar berlaku, pelakunya itu dapat dihukum dan dituntut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan pidana tersebut. Didalam Pasal 1 ayat 1 KUHP mengandung asas legalitas, yakni seseorang tidak dapat dikenai hukuman atau pidana jika tidak ada Undang-Undang yang di buat itu dalam pasal 1 ayat 1 KUHP juga mengandung asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. b. Pasal 1 ayat 2 KUHP Konsep KUHP lebih memperinci perubahan undang-undang pidana tersebut. Pasal 1 ayat 2 KUHP merupakan pengecualian terhadap berlaku surut retroaktif undang-undang pidana. Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 KUHP dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut, namun demikian aturan undang-undang tersebut haruslah yang paling ringan atau menguntungkan bagi terdakwa. Dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP mempunyai 2 ketentuan pokok, yaitu a. Sesudah perbuatan dilakukan ada perudahan dalam perundang-undangan. b. Dipakai aturan yang paling menguntungkan atau meringankan. B. Berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat Mengenai berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat locus deliciti ini, dalam KUHP tidak ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan KUHP di Jerman, dimana dalam pasal 3 ditentukan bahwa tenpat perbuatan pidana adalaha tempat dimana tempat terdakwa berbuat, diaman seharusnya terjadi. Menurut teori, biasanya tentang locus deliciti ini ada dua aliran, yaitu a. Aliran yang menentukan di satu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat. b. Aliran yang menentukan beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, mungkin tempat akibat. Menurut aliran yang kedua, locus deliciti adalah pilih antara tempat diman perbuatan dimulai dengan kwlakuan terdakwa hingga perbuatan selesai dengan timbulnya akibat. [1] A. Zainal Abidin Farid, 1995 154 [2] arrest pidana Bemmelen kaca 40 no. 14 iStockOleh Mahmud Kusuma, Pada kuliah sebelumnya berjudul Azas Hukum Pidana Menurut Tempat’, kita telah mengerti mengenai azas-azas hukum pidana menurut tempat, maka untuk kuliah selanjutnya kita mendalami azas hukum pidana menurut waktu. Sumber utama tentang berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu, tersimpul di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Antara lain pengertian yang dapat diberikan kepada Pasal 1 ayat 1 KUHP adalah[1] Mempunyai makna “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu. Sifat umum adagium di dalam ilmu hukum pidana; Mempunyai makna “undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut” Mr. Jonkers 1946 37; Mempunyai makna “lex temporis delicti”, yang artinya undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu Mr. Suringa 1968 305. Pada mulanya timbul pikiran klasik melalui saluran politik untuk melindungi kepentingan “rakyat banyak” dari kekuasaan sewenang-wenang dari Raja-raja yang absolut, dengan cara membatasi kekuasaan Raja untuk menuntut dan menjatuhkan putusan pengadilan yang bertentangan dengan azas-azas yang diakui sesuai dengan hak asasi manusia.[2] Perlindungan kepentingan rakyat di negara Barat itu ternyata lebih menitikberatkan kepada kepentingan individu yang terkandung dalam deklarasi Magna Charta 1215 dan Habeas Corpus Act 1679. Di Eropa, terutama Prancis, dianggap tokoh yang pertama adalah Montesquieu menyatakan perlunya perlindungan kemerdekaan dan pribadi individu terhadap suatu tuntutan serta tindakan hakim yang sewenang-wenang. Seorang sarjana Jerman bernama A. Von Feurbach merumuskan adagium dalam bahasa Latin “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali” yang terkandung dalam buku karangan “Lehrbuch des peinlichen Rechts” 1801.[3] Sepanjang sejarah perkembangan hukum pidana dengan segala faktor-faktor yang mempengaruhi, kiranya dapat disusun dalam empat macam sifat ajaran yang dikandung oleh azas legalitas[4] Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum rechtszekerheid en rechtsgelijkheid terhadap penguasa agar tidak sewenang-wenang. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat, karena itu masyarakat harus mengetahui lebih dahulu rumusan peraturan yang memuat tentang perbuatan pidana dan ancaman pidananya. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dua unsur yang sama pentingnya, yaitu bahwa yang diatur oleh hukum pidana tidak hanya memuat ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang mau menghindari perbuatan itu, tetapi harus juga diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan hukum lebih utama kepada negara dan masyarakat daripada kepentingan individu, dengan pokok pikiran tertuju kepada “a crime is a socially dangerous act of commission of ommission as prescribed in criminal law”. Berlakunya azas legalitas dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP sebenarnya tidaklah mutlak, dengan alasan bahwa KUHP bukan merupakan undang-undang dasar melainkan sekedar kodifikasi undang-undang hukum pidana, dan selain itu derajat undang-undang selalu dimungkinkan dapat diubah oleh pembentuk undang-undang DPR bersama Pemerintah jika dipandang perlu. Lain halnya apabila asas legalitas itu sekaligus ada perumusannya di dalam Undang-undang Dasar yang tidak secara mudah untuk mengadakan perubahannya.[5] Pembentuk undang-undang telah menetapkan pengecualiannya Pasal 1 ayat 1 KUHP di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP yang mempunyai dua ketentuan pokok, yaitu a. Sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan; b. Dipakai aturan yang meringankan/menguntungkan. [6]_________________________________ 1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal. 68. Ada dua syarat agar berlakunya suatu hukum pidana yakni berdasarkan tempat dan waktu. Berlakunya hukum pidana ini telah diatur dalam Buku Pertama, Bab I Pasal 1-9 KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP tersebut mengatur mengenai berlakunya hukum pidana menurut waktu, sedangkan dalam Pasal 2-9 KUHP mengatur hukum pidana menurut tempat. Untuk kali ini saya hanya akan membahas mengenai berlakunya hukum pidana menurut waktu. Seperti yang saya katakan tadi bahwa Pasal 1 KUHP mengatur mengenai berlakunya hukum pidana menurut waktu. Pasal 1 KUHP tersebut yakni "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ada". Mengenai berlakunya hukum pidana menurutu waktu sangatlah penting karena untuk menentukan pada saat kapan terjadinya suatu tindak pidana. Dalam Pasal 1 KUHP tersebut memiliki banyak makna, salah satunya yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo yaitu 1. "Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali" yang artinya Tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam terlebih dahulu. Hal ini biasanya disebut sebagai asas legalitas. Berlakunya asas legalitas tersebut agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penguasa. 2. Memiliki makna "Lex temporis delicti" yang artinya undang-undang berlaku terhadap perbuatan pidana yang terjadi saat itu. Maksud dari Lex temporis delicti adalah bahwa seseorang harus diadili berdasarkan aturan yang berlaku saat perbuatan itu dilakukan. Namun hal ini boleh dikesampingkan apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan dan sebelum perkara diadili. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 1 ayat 2 KUHP yakni " Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah saat melakukan perbuatan, maka digunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa". Contohnya adalah mengenai pembunuhan yang hukuman maksimalnya 15 tahun Pasal 338 KUHP . Jika ada seseorang yang melakukan pembunuhan pada tanggal 7 Januari 2018 namun masih dalam pemeriksaan awal, lalu pada tanggal 10 Februari 2018 aturan mengenai pembunuhan diubah yaitu maksimum 15 tahun menjadi maksimum 20 tahun, maka berdasarkan Pasal 1 ayat 2 KUHP tersebut, hakim harus menggunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa yakni aturan lama, dan juga sebaliknya apabila aturan yang diubah mengalami penurunan ancaman hukuman maka aturan yang dipakai adalah aturan yang baru. 3. Undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut non retro aktif . Maksud tidak berlaku surut adalah jika seseorang melakukan perbuatan mencuri namun tindakan pencurian belum diatur dalam undang-undang hukum pidana, maka seseorang tersebut tidak boleh di pidana dan apabila suatu saat pencurian telah diatur dalam undang-undang hukum pidana, maka orang yang mencuri tadi tetap tidak boleh dihukum karena ketika ia melakukan pencurian, belum ada undang-undang yang mengaturnya. Dari ketiga hal diatas dapat kita simpulkan bahwa suatu perbuatan dapat dipidana apabila telah ada hukum yang mengaturnya yang sudah pasti hukum tertulis yang mengaturnya. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan hukum diluar yang tertulis menjadi tidak berlaku. Dalam Pasal 1 ayat 3 dan ayat 4 konsep KUHP baru telah memberikan dasar berlakunya hukum pidana yang hidup di masyarakat walaupun tidak diatur dalam undang-undang sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat. Asas Legalitas Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dikenal dengan asas legalitas. Menurut Machteld Boot dalam asas legalitas ini terdapat konsekuensi akibat berlakunya asas tersebut yang akan saya simpulkan agar dapat mudah dipahami yakni 1. Tidak boleh berlaku surutnya ketentuan hukum pidana karena asas legalitas mengandung arti tiada suatu perbuatan dapat dipidana apabila tidak ada undang-undang yang mengaturnya. 2. Semua peraturan harus tertulis karena tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang tertulis. 3. Mengenai prinsip tidak ada perbuatan pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Akibatnya rumusan perbuatan pidana itu harus jelas agar tidak terjadi mutitafsir dan menghilangkan kepastian hukum. Menurut Von Feuerbach, asas legalitas berfungsi untuk menjamin kepastian hukum, dan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat maka aturan tersebut harus berfungsi menakut-nakuti masyarakat agar tidak berbuat kejahatan karena telah ada ancaman hukuman yang dibuat terlebih dahulu. Analogi Analogi merupakan suatu interpretasi. Interpretasi sendiri merupakan pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu. Menurut Machteld Boot setiap norma membutuhkan interpretasi. Begitu juga menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum tidak dapat berjalan tanpa adanya penafsiran. Namun bolehkan analogi diterapkan karena hal tersebut tentu bertolak belakang dengan asas legalitas ? Ada beberapa negara di Eropa yang menolak penggunaan analogi dan ada juga yang memperbolehkan penerapan analogi seperti di Inggris dan Cina. Menurut Sudarto, analogi artinya memperluas berlakunya suatu peraturan dengan mengabstraksikannya menjadi aturan hukum yang menjadi dasar dari peraturan itu dan kemudian menerapkannya kepada perbuatan konkrit yang tidak diatur dalam undang-undang. Dalam halnya di pengadilan, sulit untuk mengatakan bahwa hakim tidak menggunakan analogi. Analogi sangat diperlukan untuk menafsirkan hukum. Contohnya adalah mengenai pencurian. Pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP dan unsur objektif pencuriannya adalah suatu benda berwujud. Dulu benda tidak berwujud belum dimasukkan sebagai tambahan dalam aturan mengenai pencurian. Setelah adanya penemuan listrik, terjadi perubahan sosial. Tenaga listrik dianggap memiliki nilai ekonomis dan perlu dilindungi. Bayangkan saja pencurian listrik dilakukan namun pasal pencurian unsur objektifnya adalah benda berwujud sedangkan listrik bukan merupakan benda berwujud. Apakah si pencuri tetap tidak dihukum padahal jelas-jelas telah melakukan pencurian tenaga listrik hanya karena tidak diatur pencurian benda tidak berwujud ? Disinilah sesungguhnya diperlukan suatu analogi. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan analogi sangat diperlukan untuk memperlengkap suatu aturan. Penggunaan analogi cocok dengan keadaan masyarakat yang terus berkembang. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum pidana yakni untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Nah itulah yang dapat saya sampaikan mengenai berlakunya hukum pidana menurut waktu, apabila pembaca mempunyai pertanyaan atau hal yang tidak dimengerti dapat dibagikan di kolom komentar. Terima kasih Referensi Mohammad Ekaputra. 2017. Dasar-Dasar Hukum Pidana edisi 2. Medan USU Press Kitab Undang-undang Hukum Pidana

berlakunya hukum pidana menurut waktu